Makna Filosopis Kain Iket Sunda
Sumber: Gugum Gumelar, pencinta budaya dan aktif di Komunitas Iket Sunda /*Pikiran Rakyat Edisi Sabtu, 23 Maret 2013
"…saceundeung kaen" (Bujangga Manik, isi naskah baris 36)
PENGGALAN kalimat tertulis di
atas terdapat dalam naskah kuno Bujangga Manik yang menceritakan
perjalanan Prabu Jaya Pakuan, seorang Raja Pakuan Pajajaran yang memilih
hidupnya sebagai resi. Naskah diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14.
Isi naskah terdiri atas 29 lembar daun nipah yang masing-masing berisi
56 baris kalimat, terdiri atas 8 suku kata.
Kalimat
“…saceundeung kaen” mengandung arti selembar kain yang sering digunakan
sebagai penutup kepala. Di tatar Sunda disebut totopong, iket, ataupun
udeng. Pemakaian iket berkaitan dengan kegiatan sehari-hari ataupun
ketika ada perhelaan resmi seperti upacara adat dan musyawarah adat.
Untuk beberapa waktu, umumnya kain penutup kepala hanya disebut
totopong, iket, atau udengtotopong, iket, atau udeng. Tidak ada bukti
tertulis mengenai sumber sejarah tentang penamaan iket atau yang
sekarang disebut rupa iket. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman,
penamaan untuk rupa iket menjadi bagian dari kebudayaan yang mengandung
nilai dan makna tersendiri.
Penamaan atau rupa iket
dikategorikan sesuai zamannya, yaitu iket buhun (kuno) dan iket kiwari
(sekarang). Untuk iket buhun sendiri ada yang berupa bentuk iket yang
telah menjadi warisan secara turun-temurun dari para leluhur, ada pula
rupa iket yang lahir dari kampung adat. Sementara itu, untuk iket
kiwari, iket tersebut merupakan rekaan dari beberapa orang yang memiliki
rasa kebanggaan terhadap budaya iket buhun dan kreativitas dari nilai
kearifan lokal.
Bakhan, beberapa rupa iket kiwari itu sendiri
masih memiliki ciri yang mengacu pada pola rupa iket buhun. Beberapa
nama rupa iket buhun yang dikenal oleh sebagian besar umumnya adalah
Barangbang Semplak, Parekos Jengkol, Parekos Nangka, dan Julang Ngapak.
Parekos atau paros memiliki arti “menutup”. Yang berarti tipe rupa iket
yang menutup bagian atas kepala atau hampir membungkus.
Dalam
perupaan iket, di dalamnya lerkandung filosofi. Hal inilah yang membuat
iket itu sendiri menjadi salah satu warisan leluhur yang mengandung
nilai yang begitu tinggi adanya. Seperti filosofi yang terkandung dalam
rupa iket Julang Ngapak yang konon dahulunya dipakai khusus oleh para
pandita kerajaan atau disebut purahita.
Filosofi yang
terkandung berdasar kepada laku hidup seekor burung Julang (Sundanese
wrinkled hornbill). Tipe burung ini sebelum mereka mendapatkan sumber
air tersebut, mereka tidak akan berhenti mencari. Karakter inilah yang
diadopsikan menjadi simbol Julang Ngapak, yaitu bahwa kita jangan pernah
lelah mencari sumber kehidupan (ilmu, darma, dan jatidiri) sebelum
mencapai hasil yang diinginkan.
Di luar rupa atau penamaannya,
iket Sunda sendiri mengandung nilai makna filosofi yang dikenal dengan
sebutan Dulur Opat Kalima Pancer. Dulur Opat merupakan empat inti
kehidupan yaitu api, air, tanah, dan angin. Dan Kalima Pancer mengandung
makna yaitu berpusat pada diri kita sendiri. secara garis besar, Dulur
Opat Kalima Pancer memiliki arti bahwa empat elemen inti tersebut
terdapat pada diri kita dan berpusat menyatu sebagai perwujudan diri.
Mengenai iket kiwari yang telah berkembang saat ini, penamaan dan
bentuk tetap berdasar kepada pola rupa iket buhun. Tanpa mengurangi
nilai luhur dari warisan leluhur, begitu pun iket kiwari memiliki
nilai-nilai filosofi di dalamnya. Hal inilah yang menjadi bagian dari
pelestarian budaya yang bersifat kreatif, tetapi tetap memegang teguh
nilai kearifan lokalnya. Terutama di kalangan generasi muda. Mereka
memiliki cara pandang yang berbeda dalam membentuk iket tetapi tetap
memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya buhun (kuno).
Komunitas Iket Sunda (KIS) sendiri merupakan bentuk kreativitas
sebagai wadah dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya iket terhdap
kalangan mmuda.
Keberkaitan
Didalam konteks keberagaman,
sesungguhnya ada keberkaitan erat antara nilai-nilai filosofi iket
dengan fungsi penutup kepala dalam kaitan nilai Islam. Fungsi dari iket
menurut Islam umumnya adalah bisa digunakan sebagai sajadah, pengganti
tutup kepala. Hal itulah yang membentuk hubungan antara manusia dan
Allah Yang Pencipta yang disebut hablumminallah. Fungsi sebagai
hablumminanas adalah iket sebagai penyambung silaturahmi berdasarkan
warisan budaya dan iket sebagai bagian dari cara saling memberi ilmu
pengetahuan.
Dalam dunia Islam, dikenal serban atau sorban
sebagai penutup kepala, sebagai bagian dari kelengkapan dalam salat atau
beribadah. Memakai serban bagi umat Muslim adalah sunnah Nabi. Dalam
beberapa hadis riwayat para sahabat Nabi Muhammad saw, mereka
menceritakaan bahwa Nabi selalu menganjurkan agar memakai penutup kepala
sebagai bagian dari kelengkapan pakaian salat dan bahkan di luar salat.
Di tatar nusantara sendiri, kita mengenal Wali Songo. Dari beberapa
sumber sejarah, kesemuanya memakai penutup kepala. Menurut Oom Somara de
Uci, sejarawan dari Rahagaluh, dahulu model rupa iket para wali
diadopsi dari rupa iketCakraningrat yang merupakan warisan Prabu
Cakraningrat yang memiliki kekuasaan kerajaan sekitar Rajagaluh
majalengka. Iket yang dikemudian hari disebut iket Cakraningrat
Rajagaluh ini mengandung nilai filosofi yaitu iket yang melindungi
mustika; mastaka (kepala).
Ini bisa bermakna, mustika ini
adalah kepala kita yang memiliki sumber dari sifat dan sikap kita di
dunia dari sudut pandang manusia yang memiliki otak sebagai akal pikiran
yang bisa memilih mana yang baik dan buruk. Bahkan, dalam perkembangan
waktu, model iket Cakraningratini disebut pula iket para wali.
Perbedaan iket Cakraningkat ini dengan iket Sunda lazimnya yaitu
terlihat dari model kainnya. Iket Sunda pada umumnya berupa kain segi
empat, sedangkan iket Cakraningrat ini memakai kain persegi panjang
sejenis karembong (selendang). Cara pemakaiannya rata-rata hanya
diselipkan, tidak diiket atau ditali. Cara yang sama seperti pemakaian
serban di kepala. Memang tidak ada sejarah tertulis sebagai bukti yang
mendukung tentang iket Cakranignrat ini, tetapi kebedaannya menjadi
bagian dari kekayaan budaya Sunda. Wallahu’alam bishawab
Read more: http://archive69blog.blogspot.com/2013/03/makna-filosofis-dalam-iket-sunda.html#ixzz2VQrDpTMB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar